Beranda | Artikel
Syarhus Sunnah: Inilah Akidah yang Disepakati oleh Para Salaf
Jumat, 26 Februari 2021

Akidah yang disebutkan oleh Imam Al-Muzani dalam Syarhus Sunnahnya itulah yang disepakati para ulama salaf (sahabat dan tabiin) yang merupakan generasi terbaik umat ini.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

هَذِهِ مَقَالاَتٌ وَأَفْعَالٌ اِجْتَمَعَ عَلَيْهَا الْمَاضُوْنَ اْلأَوَّلُوْنَ مِنْ أَئِمَّةِ الْهُدَى , وَبِتَوْفِيْقِ اللهِ اعْتَصَمَ بِهَا التَّابِعُوْنَ قُدْوَةً وَرِضًا , وَجَانَبُوا التَّكَلُّفَ فِيْمَا كُفُّوْا , فَسُدِّدُوْا بِعَوْنِ اللهِ وَوُفِّقُوْا , لَمْ يَرْغَبُوْا عَنِ اْلاِتِّبَاعِ فَيُقَصِّرُوْا , وَلَمْ يُجَاوِزُوْهُ تَزَيُّدًا فَيَعْتَدُوا , فَنَحْنُ بِاللهِ وَاثِقُوْنَ , وَعَلَيْهِ مُتَوَكِّلُوْنَ , وَإِلَيْهِ فِي اتِّباَعِ آثَارِهِمْ رَاغِبُوْنَ

Ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan ini telah disepakati oleh generasi awal yang terdepan dalam beragama (yaitu para sahabat) yang berada di atas petunjuk Allah. Para tabiiin (orang setelah sahabat) menjadikannya sebagai teladan dan meridainya. Mereka meninggalkan sikap memberatkan diri terhadap apa yang tidak dikerjakan (para sahabat Nabi) sehingga mereka dikokohkan (mengikuti kebenaran) dan diberi taufik dengan pertolongan Allah. Mereka tidaklah membenci sikap ittiba’ (mengikuti Al-Qur’an dan ajaran Nabi), ini dianggap sebagai bentuk taqshir (menyepelekan). Mereka tidak pula menambah dari wahyu yang telah ada, ini dianggap melampaui batas (ghuluw). Kepada Allah-lah kami percaya, dan hanya kepada-Nya kami bertawakal (dalam mengikuti kebenaran). Hanya kepada Allah kami berharap dalam mengikuti jejak mereka para salaf.

Hendaklah kita mengikuti akidah generasi terbaik

Akidah yang dijelaskan oleh Imam Al-Muzani dalam Syarhus Sunnah adalah akidah generasi pertama dari umat ini. Mereka adalah sebaik-baik generasi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik generasi adalah generasi pada zamanku (sahabat nabi), kemudian generasi setelahnya (tabiin).” (HR. Bukhari, no. 2652 dan Muslim, no. 2533)

Karena Allah memuji iman mereka sebagaimana membicarakan tentang ahli kitab,

فَاِنْ اٰمَنُوْا بِمِثْلِ مَآ اٰمَنْتُمْ بِهٖ فَقَدِ اهْتَدَوْا ۚ

Maka jika mereka telah beriman sebagaimana yang kamu imani, sungguh, mereka telah mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 137). Artinya, jika mereka beriman sebagaimana para sahabat itu beriman, tentu mereka akan mendapatkan petunjuk.

Para tabiin juga mengikuti akidah ini dengan baik. Mereka mengikuti para sahabat yang telah mendapatkan petunjuk.

Baca Juga: Keyakinan Iman Menurut Ahlus Sunnah

Jangan memberatkan diri dengan bidah

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ

“Ikutilah nabi dan janganlah berbuat bidah. Ajaran nabi itu sudah mencukupimu.” (HR. Ad-Darimi dalam sunannya, 211 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 8770). Bidah adalah amalan yang tidak ada tuntunan dan tidak ada dalil.

 

Ikutilah kebenaran

Kita disuruh mengikuti kebenaran. As-sadad dalam perkataan Imam Al-Muzani berarti mengikuti kebenaran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan,

إنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، ولَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أحَدٌ إلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وقَارِبُوا، وأَبْشِرُوا، واسْتَعِينُوا بالغَدْوَةِ والرَّوْحَةِ وشيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidaklah seseorang berlebih-lebihan dalam urusan agama melainkan agama akan mengalahkannya. Ikutilah kebenaran. Jika tidak bisa, dekatilah idealnya. Bergembiralah, dan minta tolonglah kepada Allah pada pagi, sore, dan sebagian dari waktu malam.” (HR. Bukhari, no. 39 dan Muslim, no. 2818)

 

Tidak boleh berlebihan dalam beragama

Imam Al-Muzani berkata,

لَمْ يَرْغَبُوْا عَنِ اْلاِتِّبَاعِ فَيُقَصِّرُوْا , وَلَمْ يُجَاوِزُوْهُ تَزَيُّدًا فَيَعْتَدُوا

“Mereka tidaklah membenci sikap ittiba’ (mengikuti Al-Qur’an dan ajaran Nabi), ini dianggap sebagai bentuk taqshir (menyepelekan). Mereka tidak pula menambah dari wahyu yang telah ada, ini dianggap melampaui batas (ghuluw).”

Kalimat ini adalah isyarat agar bersikap wasithiyyah (pertengahan), antara ghuluw (berlebih-lebihan) dan al-jafaa’ (meremehkan). Para salaf tidaklah membenci mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, ini disebut taqshir (menyepelekan). Mereka juga tidaklah berlebihan dalam beragama yang disebut ghuluw.

Anas bin Malik berkata,

جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَدًا . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى »

“Ada tiga orang yang pernah datang ke rumah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka diberitahu, tanggapan mereka seakan-akan menganggap apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa-biasa saja.

Mereka berkata, “Di mana kita dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dosa beliau yang lalu dan akan datang telah diampuni.”

Salah satu dari mereka lantas berkata, “Adapun saya, saya akan shalat malam selamanya.

Yang lain berkata, “Saya akan berpuasa terus menerus, tanpa ada hari untuk tidak berpuasa.

Yang lain berkata pula, “Saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan menikah selamanya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Kaliankah yang berkata demikian dan demikian. Demi Allah, aku sendiri yang paling takut pada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Aku sendiri tetap puasa, tetapi ada waktu untuk istirahat tidak berpuasa. Aku sendiri mengerjakan shalat malam, tetapi ada waktu untuk tidur. Aku sendiri menikahi wanita. Siapa yang membenci ajaranku, maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Bukhari, no. 5063 dan Muslim, no. 1401)

Yang dimaksud hadits ‘siapa yang membenci ajaranku …’ sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar,

مَنْ تَرَكَ طَرِيقَتِي وَأَخَذَ بِطَرِيقَةِ غَيْرِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Siapa yang meninggalkan jalanku, lalu menempuh jalan selainku, maka tidak termasuk golonganku.” (Fath Al-Bari, 9:105)

 

Tawakal kepada Allah dalam mengikuti jejak para salaf

Untuk mengikuti kebenaran, semuanya hanyalah dengan taufik dan hidayah dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 178)

 

Baca Juga:

 

Referensi:

  1. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
  2. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  3. Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.

 

Diselesaikan di @ Darush Sholihin, 27 Februari 2021 (15 Rajab 1442 H)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/27394-syarhus-sunnah-inilah-akidah-yang-disepakati-oleh-para-salaf.html